Basically, marriage law in Indonesia adheres to the principle of monogamy. But there are some exceptions that are not monogamous. Polygamy is recognized by Indonesian marriage law. In some cases polygamy can be done. In relation to polygamy, two issues arise which will be examined in this paper. First, how polygamy is done without the permission of the wife according to Government Regulation no. 10 of 1983 Jo Government Regulation no. 45 of 1990 and Law no. 1 of 1974 and Islamic law, the second whether the judge's consideration in the decision of the Religious Courts Number 1098/Pdt.G/PA.Mks has been in accordance with applicable legislation. The method used in the writing of this thesis is by using the normative juridical research method, which is an approach method that emphasizes the science of law by means of research on positive law as well as trying to examine the rules of law applicable with analytical descriptive research specifications. Data collection techniques used in this study are literature study and interview. Based on this research can be concluded that polygamy is done without permission from the wife according to Government Regulation no. 10 of 1983 Jo Government Regulation no. 45 of 1990 and Law no. 1 Year 1974 and Islamic law can be canceled for the law, because polygamy is done not in accordance with applicable laws and regulations. The unlicensed marriage of the first wife is not illegal, but because the marriage is not in accordance with the laws and regulations made by the State. Before the law, unauthorized marriage is fine while a polygamous person is able to be fair and able to meet the needs (clothing, food and boards) of his wives and children in the future. Then the Decision of the Religious Courts Number 1098 / Pdt.G/PA.Mks has been in accordance with the applicable law and other laws related to marriage, especially for civil servants.
Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami. Namun terdapat beberapa pengecualian sehingga tidak bersifat monogami mutlak. Poligami tersebut diakui oleh undang-undang perkawinan Indonesia. Dalam beberapa keadaan poligami dapat dilakukan. Dalam kaitannya dengan poligami, timbul dua permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini. Pertama, bagaimanakah poligami yang dilakukan tanpa izin dari istri menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 dan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam, kedua apakah pertimbangan Hakim dalam putusan Pengadilan Agama Nomor 1098/Pdt.G/PA.Mks telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu metode pendekatan yang menekankan pada ilmu hukum dengan cara penelitian terhadap hukum positif disamping juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami yang dilakukan tanpa izin dari istri menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam dapat dibatalkan demi hukum, karena poligami yang dilakukan tidak sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan tanpa izin dari isteri pertama itu bukannya tidak sah tetapi karena pelaksanakan perkawinannya itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara. Sebelum adanya hukum, perkawinan tanpa izin tersebut sah-sah saja selagi seseorang yang berpoligami itu mampu untuk berlaku adil dan mampu mencukupi kebutuhan (sandang, pangan dan papan) isteri-isteri dan anak-anaknya kelak. Kemudian Putusan Pengadilan Agama Nomor 1098/Pdt.G/PA.Mks telah sesuai dengan Undang-Undangan yang berlaku dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan perkawinan, khususnya bagi PNS.