Police of the Republic of Indonesia (POLRI) has an important role in society because its main tasks are able to create national stability as a mentor, guidance, and community service. The tasks assigned to the police certainly require them to be assertive and consistent, but not least the police are stuck on things that are not in accordance with the duties and functions, as is often the case now that the criminal acts of extortion and corruption. The three sectors most vulnerable to corruption are the Political Parties, the Police, and the courts, while the tendency of the public to give the most bribes in nonconstruction, defense and security sectors, oil and gas, banking and property. The research method used in this research is normative juridical. Research using the rules, norms, principles, and legislation relating to the problem under study. This is an analytical descriptive research that provides a comprehensive description of the extortion crimes committed by members of the police force. The results indicate that in the criminal justice system that the extortion case carried out by AKBP Pentus Napitu SH, including to the general criminal act because the police are civilian rather than the subject of military law, AKBP Pentus Napitu SH is included in general justice like civil society in general. In addition, the extortion in Article 368 of the Criminal Code is a general article that can be applied to civil society not excluding members of the police force, but because the extortion has an element of abuse of authority then it is more appropriate to regulate extortion done by AKBP Pentus Napitu SH, 12 letters (e) of Law Number 20 the year 2001 concerning the Criminal Act of Corruption.Polisi Republik Indonesia (POLRI) memiliki peranan penting dalam masyarakat karena tugas-tugas pokoknya yang mampu menciptakan kestabilan nasional yaitu sebagai pembimbing, pengayom, dan pelayanan masyarakat. Tugas yang diembankan kepada polisi tentunya menuntut mereka untuk bersikap tegas dan konsisten, namun tidak sedikit polisi yang terjebak pada hal-hal yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya, seperti halnya yang sering terjadi saat ini yaitu tindak pidana pemerasan dan korupsi. Tiga sektor yang paling rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah Parpol, Kepolisian dan pengadilan, sementara itu kecenderungan masyarakat memberi suap paling banyak terjadi di sektor non konstruksi, pertahanan dan keamanan, Migas, Perbankan dan properti. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Penelitian dengan menggunakan kaidah-kaidah, norma-norma, asas-asas, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu memberikan gambaran menyeluruh mengenai tindak pidana pemerasan di lakukan oleh anggota kepolisian. Hasil penelitian menunjukkan dalam sistem peradilan pidana bahwa kasus pemerasan yang di lakukan oleh AKBP Pentus Napitu S.H., termasuk kepada tindak pidana umum, karena anggota kepolisian merupakan warga sipil bukan temasuk subjek hukum militer maka AKBP Pentus Napitu SH termasuk pada peradilan umum seperti masyarakat sipil pada umumnya. Selain itu Pemerasan dalam Pasal 368 KUHP merupakan pasal umum yang dapat di terapkan pada masyarakat sipil tak terkecuali anggota kepolisan, akan tetapi karena pemerasan tersebut mempunyai unsur penyalahgunaan wewenang maka yang lebih tepat untuk mengatur tentang pemerasan  yang di lakukan oleh AKBP Pentus Napitu S.H., adalah Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak pidana korupsi.