Abstract. The most important thing in providing balance to the position of the suspect or defendant in a criminal justice process is the right of suspects or defendants to obtain legal assistance under Article 54 in conjunction with Article 56 of the Criminal Procedure Code. A person who is legally illiterate may not claim his rights because he does not know what rights he really has, this is where the fulfillment of the right to legal aid becomes necessary to eliminate discrimination between people (in this case who understand the law with those who are illiterate). Equality of position between the poor (and the law blind) with the rich (and not blind law) is regulated in Article 56 of KUHAP. Equality before the law is the main characteristic of a legal state whose implementation in the judiciary is a due process of law. However, in practice it is sometimes difficult to implement it with various obstacles encountered, such as the absence of a clear legal effect on the trial process, the unclear sanctions that can be imposed on the authorities if not implemented Article 56 Criminal Procedure Code and the rejection of legal counseling by the suspect or defendant , as well as other constraints. It is unfortunate that the obligations set forth in Article 56 of the Criminal Procedure Code are still lacking in giving seriousness in providing protection for suspects or defendants, so that in its application it is not able to give equal meaning to law enforcement officers themselves in applying the provisions of Article 56 of KUHAP. This study attempts to answer the question of whether legal aid as provided in Article 56 of Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure Law has been implemented, how legal aid is conducted at the stage of Judgment, any factors which may cause the failure of Article 56 of Criminal Procedure Code as a legal obligation of officials law enforcers at the court stage. Keywords: Judge, Legal Aid, Suspect RightsAbstrak. Hal terpenting dalam memberikan keseimbangan terhadap kedudukan tersangka atau terdakwa dalam suatu proses peradilan pidana adalah diberikannya hak bagi tersangka atau terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum berdasarkan Pasal 54 jo Pasal 56 KUHAP. Seseorang yang buta hukum tidak mungkin menuntut hak yang dimilikinya karena ia tidak tahu hak apa yang dia miliki seseungguhnya, disinilah pemenuhan hak atas bantuan hukum menjadi penting untuk menghilangkan diskriminasi antar manusia (dalam hal ini yang mengerti hukum dengan mereka yang buta hukum). Persamaan kedudukan antara orang miskin (dan buta hukum) dengan orang kaya (dan tidak buta hukum) diatur dalam Pasal 56 KUHAP. Persamaan kedudukan di muka hukum adalah ciri utama sebuah negara hukum yang implementasinya dalam peradilan adalah adanya proses peradilan yang adil (due process of law). Namun dalam praktek terkadang sulit melaksanakannya dengan berbagai kendala-kendala yang dihadapi, diantaranya ketiadaan akibat hukum yang jelas terhadap proses persidangan, ketidakjelasan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat yang berwenang jika tidak dilaksanakan Pasal 56 KUHAP dan adanya penolakan pendampingan penasehat hukum oleh tersangka atau terdakwa sendiri, serta kendala lainnya. Sangat disayangkan kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 56 KUHAP, masih dirasakan kurang memberikan kesungguhan dalam memberikan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa, sehingga dalam penerapannya tidak mampu memberikan kesamaan arti bagi aparat penegak hukum sendiri dalam menerapkan ketentuan dari Pasal 56 KUHAP. Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan apakah bantuan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah terlaksana, bagaimana bantuan hukum dijalankan pada tahap Pengadila, faktor-faktor apasaja yang dapat menjadi penyebab tidak terlaksananya Pasal 56 KUHAP sebagai kewajiban hukum pejabat penegak hukum pada tahap pengadilan.Kata Kunci: Hakim, Bantuan Hukum, Hak Tersangka
ABSTRAK. Hal terpenting dalam memberikan keseimbangan terhadap kedudukan tersangka atau terdakwa dalam suatu proses peradilan pidana adalah diberikannya hak bagi tersangka atau terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum berdasarkan Pasal 54 jo Pasal 56 KUHAP. Seseorang yang buta hukum tidak mungkin menuntut hak yang dimilikinya karena ia tidak tahu hak apa yang dia miliki seseungguhnya, disinilah pemenuhan hak atas bantuan hukum menjadi penting untuk menghilangkan diskriminasi antar manusia (dalam hal ini yang mengerti hukum dengan mereka yang buta hukum). Persamaan kedudukan antara orang miskin (dan buta hukum) dengan orang kaya (dan tidak buta hukum) diatur dalam Pasal 56 KUHAP. Persamaan kedudukan di muka hukum adalah ciri utama sebuah negara hukum yang implementasinya dalam peradilan adalah adanya proses peradilan yang adil (due process of law). Namun dalam praktek terkadang sulit melaksanakannya dengan berbagai kendala-kendala yang dihadapi, diantaranya ketiadaan akibat hukum yang jelas terhadap proses persidangan, ketidakjelasan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat yang berwenang jika tidak dilaksanakan Pasal 56 KUHAP dan adanya penolakan pendampingan penasehat hukum oleh tersangka atau terdakwa sendiri, serta kendala lainnya. Sangat disayangkan kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 56 KUHAP, masih dirasakan kurang memberikan kesungguhan dalam memberikan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa, sehingga dalam penerapannya tidak mampu memberikan kesamaan arti bagi aparat penegak hukum sendiri dalam menerapkan ketentuan dari Pasal 56 KUHAP. Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan apakah bantuan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah terlaksana, bagaimana bantuan hukum dijalankan pada tahap Pengadila, faktor-faktor apasaja yang dapat menjadi penyebab tidak terlaksananya Pasal 56 KUHAP sebagai kewajiban hukum pejabat penegak hukum pada tahap pengadilan. Kata Kunci: Hakim, Bantuan Hukum, Hak Tersangka