Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi selalu mengalami berbagai hambatan. Melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk suatu lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi. Berbeda dengan Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini menuai pro dan kontra. Metode penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis dan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Kemudian keseluruhan data dianalisis secara normatif kualitatif. Dari penelitian ini ditarik kesimpulan bahwa latar belakang Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang menghentikan perkara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi bertujuan untuk memaksimalkan pemberantasan dan penegakan hukum terhadap korupsi yang sudah sangat meresahkan. Kaitannya dengan perkara daluwarsa penuntutan, maka larangan penghentian perkara merupakan asas lex specialis bagi ketentuan daluwarsa yang diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Law enforcement in order to eradicate this criminal act also has always encountered various obstacles. Trough Law No. 30 of 2002 on Corruption Eradication Commission had been established an institution called Corruption Eradication Commission, it has authority for conducting investigations, indictments, and prosecutions against criminal acts of corruption. Different with Prosecutor’s Office, Corruption Eradication Commission not authorized to issue a letter to order the halting of the process prosecutions and indictments against a corruption case, it is reaping pro and cons. Research method in this essay are analytical descriptive and juridical normative. Data collection technique obtained through the study of literature with in-depth assessment of secondary data that includes primary, secondary, and tertiary legal material. Then overall data analyzed with normative facultative. From this research can be concluded that background of Corruption Eradication Commission disallowed halt case is Corruption Eradication Commission aim to maximize eradication and law enforcement toward corruption which has been really dismayed people. Relation to expired prosecution case, then prohibition case halting is the principle of lex specialist for expired provision which is regulated in Article 78 of Criminal Code.
Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi selalu mengalami berbagai hambatan. Melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk suatu lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi. Berbeda dengan Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini menuai pro dan kontra. Metode penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis dan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Kemudian keseluruhan data dianalisis secara normatif kualitatif. Dari penelitian ini ditarik kesimpulan bahwa latar belakang Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang menghentikan perkara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi bertujuan untuk memaksimalkan pemberantasan dan penegakan hukum terhadap korupsi yang sudah sangat meresahkan. Kaitannya dengan perkara daluwarsa penuntutan, maka larangan penghentian perkara merupakan asas lex specialis bagi ketentuan daluwarsa yang diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.