Pada tahun 2017, Indonesia akan menggelar pilkada serentak yang diikuti oleh 101 daerah, yang membuat pemerintah Indonesia berbenah untuk mensuksekan gelaran tersebut. Hal yang saat ini dibahas oleh penulis tentang perubahan Undang-Undang yang berkaitan dengan adanya peluang bagi mantan terpidana untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Akibatnya banyak yang menolak UU Pilkada terbaru sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (DPR).[1] Untuk itu, penulis ingin menganalisis permasalahan tersebut dengan menggunakan metode yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analisis. Analisis masalah ini akan dilihat dari konsep Hak Asasi Manusia dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Secara garis besar dengan diperbolehkannya mantan terpidana ikut serta dalam pilkada telah melanggar UU karena jelas UU melarangnya. Namun jika mempertimbangkan HAM dan AAUPB, akan ada suatu penjelasan yang memperkuat seorang mantan terpidana boleh ikut dalam gelaran pilkada. Salah satunya ada asas kebebasan dan asas persamaan di depan hukum.[2] Oleh karena itu, penelitian ini akan menjadi suatu referensi yang melihat suatu permasalahan lebih luas dan tidak hanya melihat dari satu sisi saja. In 2017 Indonesia will hold the simultaneously elections, followed by the 101 area, the Indonesian government has to clean up for the upcoming election to be succeed. The latest Election Law is rejected by so many people that prove their dissatisfaction from the citizen on a policy issued by the government (DPR). With that the author wants to analyze these problems by using normative juridiction methods, specifications of the research is descriptive analysis. The necessity of this problem in the analysis by considering Human Rights and the General Principles of Good Governance, so the research can gives a maximum results by considering various aspects and able to resolve this problem without prejudice the parties concerned. Broadly speaking, the permission of an ex-convicts to participate in the elections have already violated the Act because the Act has obviously forbid it, but if we considers about the Human Rights and Good Governance Principles there will be an explanation that will make an ex-convict stronger and may participate in the simultaneously elections, because there is freedon principle and the principle of equality before the law. Therefore, this research will be a reference to see a broader problem and not only look from one side only.
Pada tahun 2017, Indonesia akan menggelar pilkada serentak yang diikuti oleh 101 daerah, yang membuat pemerintah Indonesia berbenah untuk mensuksekan gelaran tersebut. Hal yang saat ini dibahas oleh penulis tentang perubahan Undang-Undang yang berkaitan dengan adanya peluang bagi mantan terpidana untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Akibatnya banyak yang menolak UU Pilkada terbaru sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (DPR).[1] Untuk itu, penulis ingin menganalisis permasalahan tersebut dengan menggunakan metode yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analisis. Analisis masalah ini akan dilihat dari konsep Hak Asasi Manusia dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Secara garis besar dengan diperbolehkannya mantan terpidana ikut serta dalam pilkada telah melanggar UU karena jelas UU melarangnya. Namun jika mempertimbangkan HAM dan AAUPB, akan ada suatu penjelasan yang memperkuat seorang mantan terpidana boleh ikut dalam gelaran pilkada. Salah satunya ada asas kebebasan dan asas persamaan di depan hukum.[2] Oleh karena itu, penelitian ini akan menjadi suatu referensi yang melihat suatu permasalahan lebih luas dan tidak hanya melihat dari satu sisi saja.