Description:
Kelompok etnik Minang dan Batak merupakan kelompok etnik yang memiliki nilai merantau. Kota Bandung dengan segala keunikannya, merupakan salah satu kota yang menjadi tujuan perantau untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Keunikan tersebut terlihat dari budaya Sunda yang dominan, maka para mahasiswa perantau harus menyesuaikan diri pada aturan-aturan orang Sunda agar dapat bertahan dan menyelesaikan studinya (Warnaen, 1987). Permasalahan lintas budaya muncul karena perantau, mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di kehidupan sosial sehari-hari. Proses dalam menjalani adaptasi dapat terlihat hasilnya dalam bentuk adaptasi sosiokultural dan psychological yaitu, subjective well-being. Tujuan memperoleh data empiris mengenai adaptasi sosiokultural dan subjective well-being pada mahasiswa perantau etnik Minang dan Batak dalam interaksinya dengan etnik Sunda di kota Bandung. Metoda penelitian bersifat deskriptif dengan membandingkan nilai rata-rata menggunakan ANOVA. Pengambilan data dilakukan menggunakan alat ukur Adaptasi Sosiokultural (SCAS-R) dari Colleen Ward dan Subjective Well-Being (SWLS) dari Edward Diener dengan jumlah subjek 250 mahasiswa etnik Minang dan 250 mahasiswa etnik Batak. Hasil mahasiswa etnik Batak (mean 3.6063) lebih adaptive dibandingkan dengan etnik Minang (mean 3.4505) dengan α=0.002. Dimana dalam aspek Keberhasilan Akademik, Minat Personal dan Keterlibatan Dalam Suatu Komunitas, dan Kelancaran Bahasa, mahasiswa perantau etnik Batak lebih adaptive dibandingkan dengan etnik Minang. Kemampuan adaptasi sosiokultural kedua etnik mayoritas tergolong moderate atau sedang yaitu, 74% mahasiswa perantau etnik Minang dan 64% mahasiswa perantau etnik Batak. Dalam Subjective Well-being Mahasiswa etnik Batak (mean 4.8784) lebih well-being di bandingkan mahasiswa etnik Minang (mean 4.6432) dengan α=0.010. Kedua etnik secara keseluruhan tergolong pada tingkat sedikit puas yaitu, 33.2% mahasiswa perantau etnik Minang dan 35.6% mahasiswa perantau etnik Batak. Secara keseluruhan mahasiswa laki-laki (mean 3.5729) lebih adaptive dibandingakan dengan perempuan (mean 3.4664) dengan α=0.034. Dimana aspek Komunikasi Interpersonal dan Kelancaran Bahasa mahasiswa perantau laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan kultur menyebabkan perbedaan dalam pembagian pada aspek adaptasi sosiokultural menjadi empat aspek, yakni Adjustmen in local culture, Adjustment in personal life, Adjustment in social life dan Adjustment toward population density.