Abstract:
Indonesia adalah negara hukum dimana hal ini diatur didalam ketentuan
UUD pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sebagai konsekuensi logis dari peraturan tersebut maka seluruh tata kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia harus senantiasa merujuk pada hukum serta
norma-norma hukum yang berlaku, penerapan hukum dalam kehidupan manusia
pada dasarnya memiliki berbagai macam manfaat diantaranya sebagai suatu sarana
dalam rangka menjaga tertibnya kehidupan manusia dalam
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara serta dapat digunakan sebagai suatu
pendoman bagi masyarakat dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari yang
didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Korupsi merupakan suatu hal yang
tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
korupsi secara harfiah berarti busuk, suka memakai barang ( uang ) dapat disogok
melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Adapun secara terminolgi
korupsi dapat diartikan sebagai penyelewengan ( uang negara atau perusahaan)
untuk kepentingan pribadi maupun orang lain, Indonesia yang mayoritas beragama
Islam sudah seharusnya hukum positif di Indonesia harus selaras dengan hukum
agama Islam, sebab hukum memiliki salah satu tujuan yaitu kemanfaatan. Jika
hukum bisa di terapkan di dalam masyarakat maka hukum akan memberikan nilai
manfaat, dengan demikian keselarasan hukum positif dengan hukum Islam harus
terwujud sehingga hukum bisa dilaksanakan dan memberi manfaat tersendiri.
Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah 1) Bagaimanakah
unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi ditinjau dari UU
Tipikor maupun Hukum Islam? 2) Bagaimana pengembalian kerugian keuangan
negara akibat tindak pidana korupsi ditinjau dalam UU Tipikor dan Hukum Islam?
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa bahwa korupsi dalam kajian UU Tipikor
memiliki unsur yang berbeda dengan unsur korupsi dalam pandangan hukum Islam.
Namun setelah adanya putusan MK unsur tersebut menjadi sejalan , karena
penanganan korupsi baru bisa dilakukan apabila kerugian negara benar-benar nyata
dan pasti. Selain itu didalam penulisan ini juga dijabarkan bahwa pengembalian
kerugian negara melalui mekanisme uang pengganti kurang bisa mengembalikan
uang korupsi, Karena pada dasarnya uang yang akan dikembalikan oleh pelaku
korupsi hanya ditentukan sesuai dengan putusan hakim mengenai jumlah kerugian
yang harus diganti oleh terdakwa. Penerapan pidana ini tidak sejalan dengan
penerapan hukum Islam,karena didalam hukum Islam sendiri penggantian
korupsi,harus dilaksanakan secara penuh bahkan didalam Islam sendiri seutas tali
sepatu atau butiran mutiara yang harganya dua dirham pun dapat membawa
seseorang keneraka.