Abstract:
Sah tidaknya suatu perkwaninan yang dilaksanakan berakibat langsung
terhadap kedudukan hukum anak yang dilahirkan. Di Indonesia masih didapati
pelaksanaanperkawinantidak sah, diantaranya pelaksanaan perkawinan satu
nasab/sedarah,meskipun secara jelas dan terang perkawinan sedarah/semenda ini
dilarang baik dari segi agama maupun negara.Larangan perkawinan sedarah
tercantum dalam Q.S an-Nisâ (4) : 22-23, dalam Kompilasi Hukum Islam dimuat
pada Pasal 39 sampai pasal 44, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinandiatur dalam Pasal 8. Anak yang dilahirkan dari perkawinan
tidak sah memiliki kedudukan hukum yang berbeda dengan anak yang dilahirkan
dari perkawinan sah, karena anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak sah hanya
memiliki hubungan nasab/ hubungan hukum perdata denganibunya dan keluarga
ibunya. Kedudukan hukum anak mengalami perubahan pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 tentang status anak diluar kawin yang
intinya menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan yang sah selain
memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya juga memiliki
hubungan hukum dengan ayah biologisnya jika dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi secara hukum memiliki hubungan darah.
Metode dalam penulisan ini penulis menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang melakukan pendekatan masalah
dengan melakukan tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan. Penelitian
ini dilakukan dengan cara meneliti data atau bahan kepustakaan yang merupakan
data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, teori, literatur, serta
pendapat ahli mengenai kedudukan hukum anak akibat perkawinan tidak sah,
selain itu penulis melakukan wawancara dengan Majelis Ulama Indonesia. Dalam
menganalisa data penulis menggunakan deskriptif analitis, yaitu suatu analisa data
yang menjelasakan secara tepat kemudian di analisa untuk memperoleh kejelasan
masalah.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa kedudukan hukum anak akibat
perkawinan tidak sah hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya (Pasal 100 KHI) , sehingga yang berkewajiban memberikan hak
anak baik nafkah, hak waris-mewarisi, hak perwalian adalah ibunya dan keluarga
ibunya. Kedudukan hukum anak pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa anak yang dilahirkan bila dibuktikan memiliki hubungan
hukum dengan ayah biologisnya maka ayah biologis anak tersebut berkewajiban
memenuhi hak lahir dan batin anak yang dilahirkan dari perbuatanya.