Abstract:
Peristiwa penyerangan komunitas Syiah di Sampang Madura, telah mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama di Indonesia. Kenyataan bahwa NKRI merupakan sebuah negara yang plural, heterogen, mendorong terbentuknya konflik dan atau pergesekan yang dilatar belakangi issue agama. Konflik dan gesekan tersebut berujung pada kekerasan (pelanggaran hukum pidana). Pembahasan dalam tulisan ini tidak berada pada posisi penghakiman masalah ideologi, tata cara berkeyakinan para pengikut syiah dengan menggunakan sudut pandang hitam putih. Namun dalam tulisan sederhana ini, dengan metode yuridis kualitatif, penulis mencoba menyoroti praktek upaya perlindungan terhadap korban kekerasan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 13 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK). Dan bagaimana peranan penegakan hukum pidana sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dalam menggerakkan organ-organnya dalam sebuah sistem yang integrated (Criminal Justice System). Pemerintah realitasnya sering kali mengambil posisi strategis, pemerintah dalam hal ini bisa dituduh melakukan kejahatan dengan membiarkan kekerasan berdasarkan agama (crime by omission).