Abstract.Abu Ubayd Al-Qasim in his book Al-Amwal discusses about zakat of imported goods and customs which includes levels of payment, the subject and the object. Customs in Indonesia are managed by the Directorate General of Customs are the main guidelines is Act No. 17 of 2006 on Customs and law No. 39 of 2007 about the tax, which has been described concerning the implementation of the Ordinance, the magnitude of the rate, and the subject is at once its object. This research aims to know the thought of Abu Ubayd AL-Qasim about zakat of imported goods and customs, waysof implementing a set of customs collecting in Act No. 17 of 2006 on Customs and law No. 39 of 2007, about the tax, and the similarities and differences between the two. The method used is descriptive research with the data source is the book of Al-Amwal, legislation, and other data sources that are associated with the material covered, the technique of data collection is a library research. The research results obtained that the thought of Abu Ubayd Al-Qasim about zakat and tax of imported goods as a whole almost the same as that applied to customs policy Umar bin Khattab RA. During his reign, both include the concept, the rate adjustment is distinguished on the basis of the religion of the subject and the subject matter are distinguished on the basis of religion, and its object is the merchandise carried enters the territory of the Islamic State. Meanwhile, in Act No. 17 of 2006 on Customs and law No. 39 of 2007 about Customs in it already contains covers of the poll, the magnitude of rates,sanctions, as well as the subject and the object, which is not entirely based on the religion of the subject. Between the thought of Al-Qasim Abu Ubaid and the legislation there are equations that is both a form of tax that became one of the State's revenue sources. And there are differences namely include import duties, customs and Excise, came out the size of the nominal tax rate equations, objects or items, and the sanctions awarded against infringement.Abstrak.Abu Ubaid Al-Qasim di dalam kitabnya Al-Amwal membahas mengenai zakat barang impor dan cukai yang mencakup kadar pembayarannya, subjek dan objeknya. Di Indonesia Bea Cukai dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai yang pedoman utamanya adalah UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, yang di dalamnya telah dijelaskan mengenai tata cara pelaksanaan, besaran tarif, dan subjek sekaligus objeknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Abu Ubaid AL-Qasim mengenai zakat barang impor dan cukai, cara pelaksanaan pemungutan bea cukai yang diatur di dalam UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan UU No, 39 Tahun 2007 tentang Cukai, dan persamaan dan perbedaan antara keduanya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan sumber data adalah kitab Al-Amwal, UU, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas, teknik pengumpulan data adalah library research. Hasil penelitian didapat bahwa pemikiran Abu Ubaid Al-Qasim mengenai zakat barang impor dan cukai secara keseluruhan hampir sama dengan kebijakan bea cukai yang diterapkan Umar bin Khaththab RA. pada masa pemerintahannya, baik meliputi konsepnya, tarif yang dibedakan besarannya berdasarkan agama subjeknya dan subjeknya pun dibedakan atas dasar agamanya, dan objeknya adalah barang dagangan yang dibawa memasuki wilayah negara Islam. Sementara, di dalam UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai di dalamnya sudah memuat meliputi tata cara pemungutan, besaran tarifnya, sanksi, serta subjek dan objeknya, yang seluruhnya tidak di dasarkan kepada agama subjek. Antara pemikiran Abu Ubaid Al-Qasim dan UU tersebut terdapat persamaan yaitu keduanya merupakan bentuk pajak yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Dan terdapat perbedaan yaitu mencakup bea masuk, bea keluar dan cukai, ukuran persamaan tarif nominal pajak, objek atau barang, dan sanksi yang diberikan terhadap adanya pelanggaran.
Abu Ubaid Al-Qasim di dalam kitabnya Al-Amwal membahas mengenai zakat barang impor dan cukai yang mencakup kadar pembayarannya, subjek dan objeknya. Di Indonesia Bea Cukai dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai yang pedoman utamanya adalah UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, yang di dalamnya telah dijelaskan mengenai tata cara pelaksanaan, besaran tarif, dan subjek sekaligus objeknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Abu Ubaid AL-Qasim mengenai zakat barang impor dan cukai, cara pelaksanaan pemungutan bea cukai yang diatur di dalam UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan UU No, 39 Tahun 2007 tentang Cukai, dan persamaan dan perbedaan antara keduanya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan sumber data adalah kitab Al-Amwal, UU, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas, teknik pengumpulan data adalah library research. Hasil penelitian didapat bahwa pemikiran Abu Ubaid Al-Qasim mengenai zakat barang impor dan cukai secara keseluruhan hampir sama dengan kebijakan bea cukai yang diterapkan Umar bin Khaththab RA. pada masa pemerintahannya, baik meliputi konsepnya, tarif yang dibedakan besarannya berdasarkan agama subjeknya dan subjeknya pun dibedakan atas dasar agamanya, dan objeknya adalah barang dagangan yang dibawa memasuki wilayah negara Islam. Sementara, di dalam UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai di dalamnya sudah memuat meliputi tata cara pemungutan, besaran tarifnya, sanksi, serta subjek dan objeknya, yang seluruhnya tidak di dasarkan kepada agama subjek. Antara pemikiran Abu Ubaid Al-Qasim dan UU tersebut terdapat persamaan yaitu keduanya merupakan bentuk pajak yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Dan terdapat perbedaan yaitu mencakup bea masuk, bea keluar dan cukai, ukuran persamaan tarif nominal pajak, objek atau barang, dan sanksi yang diberikan terhadap adanya pelanggaran.