Pancasila is the ideology and philosophy of the Indonesian nation and the source of all law sources of the State of Indonesia. The First Pancasila is "Belief in One Supreme God", is an acknowledgment that the Indonesian State views religion as one of the main pillars of human life and for the nation of Indonesia is the joint of the State's life. Therefore, the legal protection for the existence of legal interest for every citizen of that State, then the provisions on religious offense must be regulated and protected in criminal law. Based on the above ideas, it can be formulated several problems, namely how the regulation of the criminal act of defamation of religion in Indonesia and how the criminal law policy in RKUHP to Prevent and / or Cope with the Crime of Blasphemy. The research method used normative juridical which focuses on secondary data with analysis descriptive specification, that is explaining about the applicable law and criminal law policy to be taken in overcoming the crime of defamation of religion. Analysis data used is qualitative analysis method. Whereas the a quo law is no longer effective so that revisions and restrictions that can be made on freedom of religion are necessary. There are several important phrases in this law that need to be clarified to avoid multiple interpretations of "The teachings of religion", "deviant interpretations", "deviant religious activities". The criminal law policy in RKUHP regarding religious defamation needs to be reviewed especially on the category of punishable acts and sanctions that can be imposed on the act of contempt of religion since the purpose of punishment has been formulated specifically in line with Article 54 of the Criminal Code 2008. Therefore, the criminal law policy is necessary Reviewed to achieve the expected objectives in tackling the criminal act of religious humiliation.
Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia. Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara. Dengan demikian perlindungan hukum atas adanya kepentingan hukum bagi setiap warga Negara tersebut, maka ketentuan tentang delik agama harus diatur dan dilindungi dalam hukum pidana. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia dan bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analisis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Bahwa undang-undang a quo sudah tidak efektif lagi sehingga perlu dilakukan revisi dan pembatasan-pembatasan yang dapat dilakukan terhadap kebebasan beragama. Ada beberapa frasa penting dalam undang-undang ini yang perlu dijelaskan supaya tidak multitafsir yaitu “pokok-pokok ajaran agama”, “penafsiran yang menyimpang”, “kegiatan keagamaan yang menyimpang”. Kebijakan hukum pidana dalam RKUHP mengenai penghinaan agama perlu dikaji kembali terutama mengenai kategori perbuatan yang dapat dipidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap perbuatan penghinaan agama mengingat tujuan pemidanaan telah dirumuskan secara khusus pada Pasal 54 KUHP Tahun 2008. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana tersebut perlu ditinjau ulang untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam menanggulangi tindak pidana penghinaan agama.