Universitas Islam Bandung Repository

Kedudukan Hukum Anak yang Pindah Agama dalam Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara Nomor. 14/Pdt.G/1994/Pta)

Show simple item record

dc.contributor.author Syahidah, Nadia Khairunnisa
dc.date.accessioned 2016-02-20T07:09:30Z
dc.date.available 2016-02-20T07:09:30Z
dc.date.issued 2016
dc.identifier.uri http://hdl.handle.net/123456789/3044
dc.description.abstract Masalah anak selalu menjadi perhatian masyarakat, baik mengenai hak-hak anak dalam keluarga, kedudukan anak dalam keluarga dan masyarakat, serta bagaimana cara orang tua mengasuh anak. Orang tua merupakan orang pertama dan terdekat yang harus bertanggung jawab terhadap pengasuhan dan pemeliharaan anak. Anak juga merupakan salah satu ahli waris yang berhak menerima warisan baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya, bahkan ia adalah ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Ketentuan mengenai pembagian waris di Indonesia belum terunifikasi, pembagia waris dibagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Hukum Islam, Hukum Adat. Pembagian waris berdasarkan hukum Islam diberlakukan untuk keluarga yang beragama Islam. Perbedaan agama yang terjadi dalam satu keluarga merupakan kejadian yang sering terjadi, hal ini dikarenakan adanya perpindahaan agama yang dilakukan seseorang. Perbedaan agama ini menyebabkan terhalangnya seseorang untuk menjadi ahli waris. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kedudukan anak yang sah menurut hukum Islam dan akibat hukum kewarisan bagi anak yang murtad menurut hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis, metode analisa data yang digunakan ialah normatif kualitatif. Kedudukan anak yang sah menurut Hukum Islam tidak dilihat dari segi agama anak tersebut maka anak akan berkedudukan sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan kehamilan itu sudah terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak sah. Oleh karena itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak yang sah atau tidak, dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa mengandung kapan dan dimana anak itu dilahirkan. Dalam hukum kewarisan Islam seseorang yang belainan agama tidak mempunyai hak untuk mewarisi hal ini berdasarkan atas hadist Rasulullah SAW yang berbunyi: “Tidaklah benrhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula oeang kafir mewarisi muslim.” (Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama berpendapat lain, menurut pendapat Maasruq dan An-Nakha’I yang mengatakan bahwa sesungguhnya seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewarisikan kepada orang kafir. Alasannya adalah bahwa Islam itu ya’lu wallayu’la’alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya), tetapi Ibnu Hazm yang merupakan ulama pengembangan teori wasiat wajibah menyatakan bahwa seorang ahli waris yang non muslim bisa mendapatkan hak atau warisan yang ditinggalkan oleh pewaris melalui suatu cara yang disebut dengan wasiat wajibah dari pewaris muslim yang kadar bagiannya sebanyak yang seharusnya diterima oleh ahli waris muslim en_US
dc.description.sponsorship Deddy Effendy, S.H., M.H. en_US
dc.publisher Fakultas Hukum (UNISBA) en_US
dc.subject warisan , hukum , agama en_US
dc.title Kedudukan Hukum Anak yang Pindah Agama dalam Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara Nomor. 14/Pdt.G/1994/Pta) en_US
dc.type Thesis en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search Unisba Repository


Browse

My Account