dc.description.abstract |
Islam mengajarkan manusia untuk hidup dalam kegiatan positif dan
menghindari kegiatan negatif. Maka, manusia akan meningkat derajatnya melebihi
makhluk astral, apabila menjalankan kegiatan positif yang bersifat spiritual dengan
dipadukan hati dan jiwa yang ikhlas. Sebaliknya, apabila menjalankan kegiatan
negatif yang diikutsertakan dengan kemauan nafsu belaka akan mengalami penurunan
derajat kemanusiaannya seketika itu. Terkadang manusia selalu mementingkan
kepentingan pribadinya terutama dalam urusan makanan dalam porsi yang belum bisa
dipastikan akan habis. Hal ini bisa berdampak buruk bagi lingkungan dan sekitarnya
dari pencemaran sisa-sisa makanan yang ada. Al-Qur’an sudah melarang dan
mengharamkan untuk tidak melakukan pemborosan yang tidak sesuai dengan
tempatnya. Oleh karena itu, masalah ini perlu diteliti dengan pemahaman dengan
teori serta pendapat para mufassir lebih terperinci.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pendapat para mufassir mengenai
Q.S. Al-Isra (17) ayat 26-27. Untuk mengetahui esensi terhadap Q.S. Al-Isra (17)
ayat 26-27. Untuk mengetahui konsep tabzir dan upaya pencegahannya menurut para
ahli. Untuk mengetahui implikasi pendidikan Q.S. Al-Isra (17) ayat 26-27 tentang
larangan tabdzir terhadap upaya menghindari perilaku mubazir.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode analitis serta
deksriptif.
Pendapat para mufasir dari QS.Al-Isra ayat 26-27 yakni;1.Kepada kaum
mulismin untuk memberikan hak yang patut kepada orang-orang yang sedang
membutuhkan nutrisi fisiknya agar beraktivitas kembali dengan keadaan yang prima
untuk mencapai tujuannya. 2.Menghambur-hamburkan dengan nafsu duniawi akan
menimbulkan perkara yang menjerumuskan kepada jalan kebathilan.3.Manusia sering
kali lupa akan kepunyaannya dalam hubungan materi. Materi dalam berbagai
kebutuhan maupun keinginan yang telah diberi haruslah disyukuri agar, bisa
menjadikan manusia sebagai makhluk yang mensyukuri atas nikmat Allah Swt
berikan.4.Al-Qur’an melarang tegas untuk tidak mubazirkan hal-hal yang tidak
mendapatkan kemaslahatan dan justru mendatangkan kemudharatan. Apabila
melakukan hal-hal seperti ini sama saja dengan menyatakan dirinya sebagai golongan
dari syaitan-syaitan yang tentunya tempat singgahnya adalah neraka.
::repository.unisba.ac.id::
ii
Esensi QS.Al-Isra ayat 26-27 meliputi:1.Kewajiban bagi setiap muslim adalah
berbakti kepada kedua orang tua.2.Setiap muslim harus mencukupi kebutuhan
terutama terhadap orang miskin dan orang yang membutuhkan.3.Seorang muslim
harus mengatur harta bendanya secara proporsional.4.Sikap syukur merupakan salah
satu upaya dalam membina manusia agar tidak berlaku boros.
Pandangan ahli pendidikan tentang mubazir diartikan dengan hal yang berlebihlebihan,
membuang-buang harta, atau pemborosan. Kata tabdzir/pemborosan
dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan hak. Apabila, seseorang
mengeluarkan sesuatu atas bukan haknya atau sesuai dengan keinginannya dengan
meluapkan egonya maka, tergolong seseorang yang mubazir.
Perilaku mubazir bisa mengantarkan diri seseorang kepada hal-hal yang
menyimpang apabila, tidak bisa menentukan di mana letak yang mengarahkan kepada
nilai-nilai kebajikan dan dimana meletakan yang mengarahkan kepada nilai-nilai
kebathilan, sehingga perlu diadakannya identifikasi terlebih dahulu.
Dampak dari perilaku mubazir bersifat menyeluruh, yaitu bisa menimbulkan
kerugian di masa kehidupannya di duniawi. Begitu pula dapat menimbulkan perkara
yang besar di ukhrawi kelak yaitu mendapat murka Allah Swt.
Implikasi pendidikan dari esensi QS.Al-Isra ayat 26-27 yaitu:1.Menanamkan
pendidikan yang utama dalam keluarga.2.Membangun sikap empati dan simpati
terhadap sesama muslim.3.Berprinsip di dalam harta muslim terdapat hak orang
lain.4.Membiasakan untuk bersikap merasa cukup (qana’ah).5.Mengendalikan hawa
nafsu dalam memiliki jumlah harta.6.Menegaskan bahwa harta benda bentuk
pemberian dari Allah Swt.7.Sikap syukur sebagai bentuk untuk menghindari sikap
boros. |
en_US |