Marine transportation is an activity of moving goods/loads from the port of origin to port of destination by ship. Carriage of goods by sea has been chosen because it is efficient and capable of transporting the goods/cargo in large quantities. Basically before transporting, transporters bind itself to a treaty called the transport agreement. This agreement is primarily used as proof that leader willing to deliver the goods to the destination safely and securely. In the transport agreement, there is a clause stating that loader is obligated to provide a ship seaworthy. It is intended that the goods/cargo to destination safely. vessel accidents that occur relating to feasibility ship one of them is the volume of cargo transported goods exceeds the capacity should be. Under the provisions of Article 40 (2) of the Shipping Law, the carrier shall be responsible for cargo transported on board. This research is descriptive analytic using normative juridical approach and stages of processing and data analysis conducted by juridical qualitative study the library materials primary, secondary and tertiary, including The Hague Rules and Shipping Law, the concepts of sea transport, and theory- feasibility theories about the ship. The Hague Rules and Shipping Law is basically the same, i.e., the injured party will wreck the ship and cause damaged, lost, or handicap goods transported can claim for damages based on breach of contract and tort. But the carrier was also given the opportunity to prove that the damage is not the fault of the carrier and the carrier has been doing prevention-prevention deserve to avoid the loss so that responsibilities can be restricted by the regulations contained in the Hague Rules and Shipping Law.
Pengangkutan laut merupakan kegiatan pemindahan barang/mauatan dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan dengan menggunakan kapal laut. Pengangkutan barang melalui laut banyak dipilih karena efisien dan mampu mengangkut barang/muatan dalam jumlah banyak. Pada dasarnya sebelum melakukan pengangkutan, pengangkut mengikat diri pada suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian pengangkutan. Perjanjian ini diguanakan sebagai tanda bukti bahwa pangngkut bersedia untuk mengirimkan barang ke tempat tujuan dengan aman dan selamat. Dalam perjanjian pengangkutan, terdadapat klausul yang menyatakan bahwa pengakut wajib menyediakan kapal yang laik laut. Hal ini bertujuan agar barang/muatan sampai tujuan dengan selamat. kecelakaan kapal yang terjadi berkaitan dengan kelaiklautan kapal salah satunya adalah volume muatan barang yang diangkut melebihi kapasitas yang seharusnya. Berdasarkan ketentuan pasal 40 (2) UU Pelayaran, pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap barang muatan yang diangkut di atas kapal. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggunakan pendekatan yuridis normatif dan tahap pengolahan dan analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif yang menelaah bahan pustaka primer, sekunder dan tersier, antara lain The Hague Rules dan Undang-Undang Pelayaran, konsep-konsep pengangkutan laut, dan teori-teori tentang kelaiklautan kapal. The Hague Rules dan Undang-Undang Pelayaran pada dasarnya adalah sama, yakni pihak yang dirugikan akan kecelakaan kapal dan menimbulkan rusak, hilang, atau cacatnya barang yang diangkut dapat mengklaim ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi pengangkut juga diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa kerusakan tersebut bukan merupakan kesalahan pengangkut dan pengangkut telah melakukan pencegahan-pencegahan yang pantas untuk menghindari kerugian sehingga tanggung jawabnya dapat dibatasi oleh peraturan yang terdapat di dalam The Hague Rules dan Undang-Undang Pelayaran.