Abstract:
Tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun kian meningkat jumlahnya, baik dilihat
dari kasus yang terjadi maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan
semakin terorganisir. Untuk memberantas tindakan tersebut, Indonesia telah
membentuk undang-undang khusus yang mengatur pemberantasan korupsi.
Berkaitan dengan perumusannya, Indonesia tidak terlepas dari instrumen hukum
internasional yang telah resmi diratifikasi pada Tahun 2006 yaitu United Nations
Convention Againts Corruption. Pasal 6 dan Pasal 36 UNCAC menyebutkan bahwa
Indonesia berkewajiban untuk menyediakan suatu wadah khusus berupa
institusi/lembaga independen dan sumber daya manusia yang memadai disertai
kebebasan dalam menjalankan tugasnya tanpa ada intervensi dari pihak yang tidak
berkepentingan untuk menangani kasus korupsi. Implementasi dari perintah ini
sesuai dengan amanat Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk membentuk lembaga antikorupsi atau kini dikenal
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Seiring dengan berjalannya waktu,
anggota parlemen terus melakukan pembaharuan terhadap undang-undang yang
penerapannya kurang efektif dan perlu diadakan perubahan atau tinjauan kembali
terhadap isi pasal yang ada di dalamnya. Hal demikian berlaku pula pada Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang telah digunakan selama 17 tahun. Revisi atas undang-undang tersebut
diundangkan pada Bulan Oktober 2019 dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk menguji
sejauh mana independen yang dimiliki KPK berdasarkan kedua undang-undang
tersebut, maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan
jawabannya. Terkait efektif atau tidaknya penegakan hukum suatu undang-undang,
setidaknya ada tiga unsur sistem hukum yang menjadi landasan berpikir dan tolak
ukur keberhasilannya yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum
(legal substance) dan budaya hukum (legal culture). Agar menjamin terciptanya
asas-asas yang dipegang oleh KPK tidak bertentangan dengan norma hukum
lainnya, maka perlu dipakai prinsip umum antikorupsi yang mengedepankan
prinsip kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
proporsionalitas. Selain dari pada itu, pembentukan undang-undang antikorupsi
harus diselaraskan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Layak meliputi asas
kecermatan, permainan yang layak, menanggapi pengharapan yang wajar, dan
kebijaksanaan.