Abstract:
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang
terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Dalam kenyataan tidak selalu ketiga unsur
ini terpenuhi, dimana terdapat suatu keluarga yang tak kunjung dikaruniai
keturunan, sehingga salah satu cara untuk mendapatkan keturunan adalah dengan
cara mengangkat anak. Pelaksanaan pengangkatan anak tersebut tergantung
dimana hukum adat itu dipertahankan dan dianut oleh suatu masyarakat. Bahkan
terkadang terdapat titik persilangan antara ketentuan hukum adat dengan
ketentuan yang ada dalam hukum Islam. Hal ini berlaku pula terhadap status dan
kedudukan anak angkat yang terdapat di salah satu daerah di Indonesia yaitu pada
masyarakat adat Bugis dan hubungannya dengan ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Penelitian ini bertujuan mengetahui kedudukan anak angkat
di dalam masyarakat adat Bugis berdasarkan hukum adat dan Kompilasi Hukum
Islam dan untuk mengetahui penyelesaian pewarisan anak angkat di masyarakat
adat Bugis berdasarkan hukum adat dan Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan
spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
bahan hukum tersier. Metode analisis data yaitu analisis kualitatif dan menarik
kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kedudukan anak angkat menurut
hukum adat Bugis yaitu anak angkat tidak diwajibkan memperoleh bagian dalam
warisan orang tua angkatnya, melainkan kedudukan anak angkat tersebut hanya
mendapat bagian yang besarannya berdasarkan nilai kasih dari si pewaris.
Sedangkan kedudukan anak angkat menurut Pasal 171 huruf (h) KHI ialah tetap
sebagai anak yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan
hubungan nasab/pertalian darah dengan orang tua kandungnya. Adapun langkah
penyelesaian sengketa pada masyarakat Bugis dapat dilakukan melalui
musyawarah keluarga (tudang sipulung) dan melalui musyawarah adat
(mapahkiade). Sedangkan menurut KHI penyelesaiannya dapat dilakukan melalui
musyawarah bersama anggota keluarga atau melalui Pengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian warisan sebagaimana tertuang dalam Pasal 188 KHI.
Selanjutnya terhadap penyelesaian sengketa pembagian warisan anak angkat, KHI
memberikan langkah solutif yang tergambar di dalam Pasal 209 KHI, yaitu
terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dan berdasarkan
putusan pengadilan Purworejo tanggal 25 Agustus 1937 dan putusan RAAD VAN
JUSTITIE tanggal 24 Mei 1940 bahwa anak angkat mendapat harta gono gini dari
orang tua angkatnya.