dc.description.abstract |
Latar belakang penelitian ini adalah ditemukannya fenomena dimana terdapat
banyaknya pasangan suami istri yang menjalani Commuter Marriage, yaitu
kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami istri yang
berada pada dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing
dan dipisahkan setidaknya 3 malam dalam 1 minggu, selama sedikitnya 3 bulan
(Garstel dan Gross, 1982). Pasangan Commuter Marriage tentunya akan
mengalami berbagai masalah yang berbeda di bandingkan dengan pernikahan
yang tinggal serumah. Dengan adanya berbagai masalah yang mereka hadapi,
tentunya mereka harus memiliki gaya resolusi konflik. Di mana gaya resolusi
konflik itu sendiri memiliki 2 pendekatan yaitu, Destruktif dan Konstruktif.
Terdapat 5 gaya resolusi konflik, yaitu, Penghindaran, Dominasi, Obligasi,
Integrasi, dan Kompromi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di
kecamatan Cisarua kabupaten Sumedang, dengan subjek sebanyak 23 pasangan.
Tujuan dari penelitian ini sebenarnya untuk mengetahui gaya resolusi konflik apa
yang bisa mempertahankan pasangan tetap menjalankan commuter marriage
dalam pernikahannya. Dengan teori dari (Rahim & Magner) sebagai acuan alat
ukur atas gaya resolusi konflik. Dari total seluruh subjek (23 pasangan), 50%
subjek menunjukkan bahwa gaya resolusi konflik terbesar adalah suami Integrasi
dan istri Integrasi. Gaya resolusi konflik integrasi inilah yang dianggap menjadi
alasan beberapa pasangan tersebut memilih tetap bertahan dengan pasangannya
masing-masing. |
en_US |