dc.description.abstract |
Kawasan Tamansari Keraton Yogyakarta merupakan salah satu kawasan
yang dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya yang dikembangkan sebagai
kawasan wisata, karena memiliki artefak arkeologi yang berharga.
Perkembangan kawasan sejarah dengan sewa lahan yang murah berdampak
pada berkembangnya permukiman dalam kawasan bersejarah kota tanpa
terkendali dan dapat menjadi acaman bagi kerusakan serta pelapukan tinggalan
arkeologi sehingga menurunnya nilai asset budaya dan menurunnya daya tarik
kawasan sebagai obyek wisata. Keberadaan permukiman tersebut dimulai awal
abad XX, sebetulnya pemukiman pada waktu itu bersifat ngindung atau
magersari, di mana ngidung atau magersari merupakan hak sewa lahan yang
diberikan kepada masyarakat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
keraton, dan mereka yang menempati tanah ngidung atau magersari disebut
sebagai masyarakat ngidung atau magersari.
Namun seiring dengan perkembangan permukiman banyak terjadinya
pelanggaran permukiman terhadap aturan magersari sehingga perlu dilakukan
penerapan konsep magersari di kawasan permukiman Tamansari Keraton
Yogyakarta dengan tujuan untuk menjadikan kawasan permukiman magersari
yang dapat mendukung kegiatan pariwisata Tamansari dan untuk
mewujudkannya dilakukanlah pengkajian dengan menggunakan metode synoptic
planning yaitu metode analisis yang mengkaji secara komprehensif, sehingga
nantinya diperoleh hasil akhir dari kajian yaitu aturan-aturan budaya magersari
berupa jarak bangunan yang tidak boleh < 2 Meter, ketinggian bangunan yang
tidak > 7 Meter, dan bentuk dan jenis bangunan yang semi permanen dan tidak
bertingkat serta kepadatan bangunan yang tidak lebih dari 50% dan kemudian
diterapkan dalam arahan penataan kawasan permukiman Tamansari, sehingga
nantinya dapat menciptakan kawasan permukiman yang terintegrasi dengan
kegiatan buadaya Tamansari. |
en_US |