Abstract:
Invensi di bidang farmasi yang menimbulkan adanya hak eksklusif bagi
pemegang paten menyebabkan harga obat-obatan menjadi mahal. Safeguard
TRIPs pun tidak berdampak terhadap kebutuhan obat-obatan yang sangat
dibutuhkan untuk penanggulangan penyakit epidemik. Hingga akhirnya lahir
Deklarasi DOHA yang memberikan fleksibilitas terhadap paten obat melalui
compulsory licensing atau lisensi wajib yang kemudian dalam Undang-Undang
Paten Indonesia diterapkan melalui pelaksanaan paten oleh pemerintah.
Permasalahan yang dikaji bertujuan untuk mengetahui perbedaan istilah
pelaksanaan paten oleh pemerintah (PPoP) dan compulsory licensing serta
mengenai pelaksanaan paten oleh pemerintah (PPoP) atas obat antiviral dan
antiretroviral di Indonesia ditinjau dari Undang-undang Paten dan Deklarasi
DOHA.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif yaitu melalui studi kepustakaan atau kajian terhadap Undangundang
Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Deklarasi DOHA.
Berdasarkan hasil istilah compulsory licensing dalam Deklarasi DOHA
adalah pelaksanaan paten oleh pemerintah (PPoP) dalam Undang-undang Paten.
Pelaksanaan paten terhadap obat antiviral dan antiretroviral di Indonesia melalui
Undang-Undang Paten, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2004, Peraturan
Presiden No. 76 Tahun 2012 dan Keputusan Menteri Kesehatan No.
109/MENKES/SK/III/2013 sudah mengacu pada ketentuan TRIPs maupun
Deklarasi DOHA.