Abstract:
Penelantaran suami dalam Pasal 9 Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang PKDRT di sebutkan bahwa suami dilarang menelantarkan dan
membatasi/melarang istri bekerja yang layak supaya berada dalam kendali suami,
dalam Pasal 49 diancam dengan pidana penjara maksimal 3 tahun penjara dan
denda Rp. 15.000.000. Membawa urusan rumah tangga menjadi hukum publik ini
menimbulkan gejolak di masyarakat, salah satunya yaitu protes keras mengenai
ketidak mampuan suami menafkahi istrinya di ancam dengan sanksi pidana,
padahal di dalam Islam tidak segampang itu menentukan suatu perbuatan menjadi
tindak pidana.
Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk menelitinya.
Tujuan penelitian ini adalah di samping untuk mengetahui konsep pemelamtaran
suami dalam undang-undang PKDRT juga mengetahui pandangan hukum Islam
terhadap kosnsep tersebut.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif
sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan kepustakaan (library
research). Dengan sumber data primer dan sekunder,baik itu bersifat hukum
maupun non hukum. Yaitu Undang PKDRT, doktrin ahli hukum, serta setiap
bahan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, kemudian dibandingkan
dengan konsep yang terdapat dalam al-Quran, Hadis, Pendapat Ulama.
Hasil penelitian, disempulkan bahwa menurut hukum Islam, pasal 9 ayat
(1) sesuai dengan konsep penelantaran dalam Islam, akan tetapi dikategorikan
sebagai tindak pidana itu terlalu dini, karena dalam Islam mempunyai solusi yang
lebih efektif, untuk pemidanaan ini adalah jalan akhir. Dan pelarangan suami
kepada istri untuk bekerja dalam Pasal 9 ayat (2) tidak di anggap sebagai pidana
kalaulah alasan suami melarangnya karena pekerjaan istri tidak layak dan haram
menurut syariat, serta berakibat kepada terbengkalainya kewajiban istri terhadap
suami dan anak-anaknya dalam rumah tangga. Akan tetapi bila alasan suami
melarang istri ini karena suami bertujuan untuk mengendalikan hidup istri yang
berakibat kepada suami mendzalimi istri, maka yang demikian itu dilarang oleh
Islam. Apabila pemidaan dalam Pasal 49 ini sebagai jalan terakhir dan untuk
kemaslahtan maka termasuk pidana ta’zir dalam pidana Islam.